Sulit, sangatlah sulit mengalihkan perhatian anak balita dari "racun" yang namanya gawai. Sehebat-hebatnya orangtua menjauhkan anak dari gawai, tetap bisa terpengaruh juga. Orangtua tidak bisa melarang orang lain, anak tetangga atau saudara yang datang ke rumah mengenalkan gawai pada anak kita. Kadang kala gawai menjadi jalan untuk bisa akrab dengan anak.
Orangtua sulit sekali untuk menjauhkan anak dengan gawai. Yang bisa dilakukan orangtua saat ini adalah menciptakan kegiatan yang bisa menarik perhatian anak sehingga bisa menaruh gawainya dan segera ikut serta dalam aktivitas yang orangtua lakukan.
Sebuah pengalaman menarik saya baca dari buku Jatuh Hati pada Montessori. Berikut kutipannya:
Saya tak akan lupa yang terjadi ketika dalam sebuah seminar tentang bahaya gadget (gawai), seorang bapak berdiri dan berbicara dengan terbata-bata, "Bapak dan Ibu yang putra-putrinya masih di bawah 6 tahun, berbahagialah. Masih ada waktu. Segesra cari cara supaya anak tidak bergantung pada gadget. Anak saya sekarang usianya 12 tahun. Saya dipukul kalau tidak mengizinkan dia main," ujarnya sambil menghapus air mata. (Hlm. 26)
Media cetak online banyak memberitakan tentang anak-anak yang harus dibawa ke rumah sakit jiwa karena terkena gangguan jiwa akibat kecanduan main gawai. Laman Tribunnews.com Senin, 28 Oktober 2019 menggunggah sebuah berita berjudul "Ratusan Anak Mengalami Gangguan Jiwa Karena Gawai, Aiman: Gawai Mirip Narkoba Dong?". Berikut kutipan beritanya:
Ratusan anak di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Jawa Barat mengalami gangguan jiwa karena gawai.
Direktur Utama RSJ di salah satu daerah di Jawa Barat mengatakan bahwa ada pasien yang sampai memukul ibunya.
“Ada yang karena main game sampai memukul ibunya,” kata Elli Marliyani, Direktur Utama RSJ di Jawa Barat saat diwawancari Jurnalis KompasTV, Aiman Witjaksono (28/10/2019).
Bagi orangtua informasi tentang dampak negatif terlalu lama berinteraksi dengan gawai sudah diketahui orangtua. Namun orangtua kadang abai dengan alasan kesibukan mereka. Termasuk saya, kadang lepas kendali membiarkan anak asyik dengan gawai selama berjam-jam. Sementara saya harus menyelesaikan pekerjaan yang sudah hampir sampai masa tenggat. Tapi saya tetap berusaha untuk mengganti waktu yang terbuang bersama gawai.
Anak saya kini berusia 5 tahun. Saat ini sudah mengenal beberapa permainan edukatif yang ada pada gawai. Semaksimal mungkin, saya mengajak anak saya beraktivitas yang bisa menarik perhatiannya dan mengalihkan konsentrasinya dari gawai ke aktivitas lainnya. Jujur, ini tidak mudah dilakukan.
Femi Olivia dalam bukunya Good Memory Building, menyebutkan bahwa untuk mengoptimalkan daya konsentrasi anak, amati gaya belajarnya,apakah visual, auditori, atau kinestetis.
- Bagi anak visual: pusatkan perhatiannya dengan memberikan materi melalui bentuk-bentuk yang menarik, gambar warna-warni. Buatlah ilustrasi gambar atau teks dengan cara menuliskan pola.
- Bagi anak auditori: ajak anak berdiskusi, tanya jawab, tebak-tebakan atau membacakan persoalan dengan cara bercerita. Cara ini akan membuat anak tertarik dan pada akhirnya mau memusatkan perhatiannya.
- Bagi anak eksploratif atau kinestetis: biarkan anak beraktivitas fisik selagi diharuskan memusatkan perhatian. Misalnya menghafal perkalian perkalian sambil main tali atau berpindah-pindah tempat.
Anak saya termasuk anak yang tidak bisa diam sehingga bisa dikatakan lebih dominan kinestetisnya. Namun, dia juga suka main tebak-tebakan dan bermain dengan warna-warna. Aktivitas fisik dimodifikasi dengan permainan penuh warna tentu lebih akan lebih menarik bagi anak saya. Orangtua harus mengetahui seperti apa gaya belajar anak mereka.
Sesuai pengalaman saya bersama anak, aktivitas ini bisa mengalihkan perhatian anak dari gawai. Namun, aktivitas ini mungkin membuat orangtua enggan untuk melakukannya karena menyebabkan kotor dan berantakan.
1. Bermain pasir/tanah
Anak-anak suka main bermain pasir atau tanah, tapi kebanyakan orangtua enggan anaknya bermain dengan tanah karena kotor dan takut kena kuman.
Bagi saya, bermain pasir atau tanah tidak akan menyebabkan sakit karena kuman asalkan orangtua waspada untuk mengajak anak mencuci anak selesai bermain. Selain itu, saat bermain harus terus diawasi oleh orangtua atau orang dewasa.
2. Main perahu kertas di air
Pagi-pagi, bangun saat baru bangun tidur, anak saya sudah meminjam gawai pada saya. Ini masalah, kata saya dalam hati. Harus ada kegiatan pengganti yang bisa menarik perhatian anak. Ketika itu semalam habis hujan, air di selokan depan rumah masih menggenang. Jadilah muncul ide membuat perahu kertas dan melajukannya di selokan. Apakah anak suka? Anak saya suka sekali, dan saya yakin anak-anak lain (usia balita) pasti akan suka aktivitas ini. Apalagi ditambah dengan main kecipak air dengan tangan. Namun, tentu air selokan yang digunakan bermain adalah selokan yang airnya mengalir dan bersih dari jentik nyamuk dan sampah.
Bagaimana jika di dekat rumah tak ada air selokan yanh mengalir? Mudah saja, orangtua bisa menggunakan air dalam baskom besar.
3. Berkreasi dengan mainan yang ada
Mainan baru biasanya akan menarik minat anak-anak untuk bermain. Tetapi orangtua, tidak mungkin membelikan mainan setiap saat. Mainan-mainan yang sudah dibeli itu pasti sudah memenuhi lemari atau berserakan di berbagai tempat.
Orangtua atau pendamping anak bisa memberikan ide-ide kreatif pada anak untuk memainkan kembali mainan-mainan lama. Misalnya, ada banyak mainan mobil kecil, kreasikan dengan mengajak anak membuat jembatan dari kardus bekas kemasan. Anak usia dini perlu dirangsang kreativitasnya. Sedikit pancingan ide dari orangtua, anak akan menciptakan ide bermain sendiri. Kemudian, orangtua harus terus mendampingi anak untuk mewujudkan ide-ide kreatif anak. Aktivitas ini mampu mengalihkan perhatian anak sehingga berpaling dari gawai.
Tiga aktivitas di atas sudah saya praktikkan pada anak saya dan berhasil membuat anak menaruh gawainya. Sungguh, tidak mudah menjadi orangtua di saat ini. Orangtua harus lebih ekstra peduli pada anak, terutama anak usia dini. Orangtua juga harus mau lebih repot ketika mendampingi anak bermain.